Jakarta, Tidak seorang pun ingin terlahir berkebutuhan khusus. Tak sepantasnya pula mereka ditertawakan hanya karena berbeda. Namun kenyataannya, nyaris tak ada yang bisa menahan tawa saat anak-anak berkebutuhan khusus tampil di panggung.
Saat anak-anak down syndrome dari Ikatan Sindroma Down Indonesia (ISDI) tampil membawakan Tari Pendet, pengunjung Gedung Menara Kuningan Jakarta Selatan cukup terkesan. Meski tentu tak segemulai penari profesional, semangat dan rasa percaya diri anak-anak tersebut mendapat tepuk tangan meriah.
Namun gelak tawa tak terhindarkan saat para penari keluar panggung. Seorang penari sepertinya lupa melakukan gerakan terakhir, yakni melempar bunga, lalu mendadak muncul lagi ke panggung hanya untuk melemparkan bunga.
Bukan tawa mengejek tentunya, justru tawa itu terasa getir karena si penari dengan polosnya menunjukkan bagaimana seharusnya memenuhi tanggung jawab. Bagi sebagian orang, satu gerakan mungkin tidak dianggap sebagai masalah bila terlupakan dan tidak dilakukan.
Gelak tawa juga mewarnai berbagai isiden yang terjadi dalam konser tersebut. Misalnya saat Mutiara Apendi, penyandang tunarungu, tetap menari meski musiknya mendadak mati. Juga saat Owen, pemain perkusi dari grup band The Spe.ed.ster, bosan menunggu giliran memainkan alat musiknya, lalu akhirnya balik badan dan sibuk menyimak slide-show pemandangan indonesia di screen projector.
Meski tampak lucu dibandingan konser-konser yang menampilkan para seniman profesional, konser kali ini mendapat apresiasi tersendiri. Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Gumelar menilainya sebagai kesempatan bagus bagi anak-anak berkebutuhan khusus untuk mengembangkan bakatnya.
"Pemerintah tentunya memberikan apresiasi dan penghargaan karena kegiatan seperti ini sangat dibutuhkan. Dan pemerintah tidak mungkin melakukannya sendirian," kata Linda yang menghadiri konser tersebut, seperti ditulis Minggu (6/10/2013).
Ketua Dewan Pembina YIPABK, Maemunah Natasha berpendapat bahwa anak-anak berkebutuhan khusus punya banyak hambatan dalam mengembangkan potensi yang dimiliki. Cara mengatasi hambatan itu adalah dengan melatih, memberikan pendidikan khusus, dan yang paling penting adalah menerima keberadaannya.
"Kita lihat shining star itu tadi, mereka begitu sulit. Kita bisa bayangkan 1 murid 1 guru dan itu makan waktu yang lama," kata Maemunah, mengomentari Shining Star Academy, sebuah kelompok berkebutuhan khusus yang mengisi konser tersebut dan juga memancing gelak tawa dari pengunjung.
Shining Star Academy merupakan pengisi acara yang paling meriah karena menampilkan belasan anak kecil yang membawakan tari Yamko Rambe Yamko. Masing-masing anak didampingi 1 orang dewasa, dan yang akhirnya menari adalah para pendamping.
Anak-anak berkebutuhan khusus itu malah larut dengan kesibukannya sendiri-sendiri di atas panggung. Ada yang bengong, ada yang loncat-loncat sesuka hati, bahkan ada yang sibuk memunguti bunga. Benar-benar butuh kesabaran ekstra dari para pendamping.
(up/vit)
This entry passed through the Full-Text RSS service — if this is your content and you're reading it on someone else's site, please read the FAQ at fivefilters.org/content-only/faq.php#publishers. Five Filters recommends: