KOMPAS.com -Tetesan cairan malam yang panas sesekali menetes di tangan. Perih, sudah pasti. Udara panas dan uap panas cairan malam yang dimasak pun membuat keringat jadi bercucuran di kening. Coba bayangkan, proses ini tak cuma berlangsung satu hari, tapi berbulan-bulan. Namun hasilnya, selembar karya seni asli dan alami yang dinamakan batik.
Meski proses ini berlangsung lama dan cukup rumit dilakukan, namun Tarwiah tak pernah mengeluh. Tarwiah? Ya, dialah sang seniman batik. Merekalah "artisan" yang secara turun temurun mewarisi keahlian nenek moyang kita untuk mencipta kain halus terbaik di dunia.
Tarwiah adalah seorang pembatik yang memiliki kemampuan membatik sangat halus dan canting nomor nol adalah senjata utamanya.
Tarwiah merupakan generasi ketika dari keluarganya yang membatik di rumah batik tersebut. Nenek dan ibunya juga pernah membatik di tempat yang sama. Bahkan masa kecilnya dihabiskan di tempat itu juga. Karena terbiasa melihat ibu dan neneknya membatik, membuatnya tertarik pada batik. Jika dihitung dengan angka, ia termasuk orang yang mendedikasikan hidupnya untuk batik. Iwet mengistilahkannya dengan sebuah cinta yang tidak dapat diukur dengan materi, dan ini adalah sebuah bentuk cinta yang nyata.
Mungkin saja pertemuan Iwet Ramadhan dengan Tarwiah waktu itu sudah "jodohnya". Tak mudah baginya untuk bisa bertemu Tarwiah. Bukan karena jadwal yang padat, pameran, atau acara sosial seperti seniman lainnya. Akan tetapi karena banyak yang tidak tahu bagaimana caranya bertemu seniman-seniman ini.
Tak seperti banyak seniman lain yang berlomba untuk menggaungkan namanya di segala penjuru dunia, Tarwiah dan teman-temannya justru kebalikannya. Ia lebih memilih untuk membatik dengan segenap hati, berdiam diri serta berpuas diri dengan honor Rp 25.000 per hari. Ia bekerja di rumah batik di Pekalongan selama delapan jam sehari, enam hari seminggu.
Baginya, upah ini cukup untuk membuatnya bertahan hidup sebulan. Tidak lebih, tidak kurang. Namun ia tak mengeluh sama sekali. Ia bahkan bersyukur masih dibayar dengan upah yang besarnya di atas rata-rata pembatik lainnya.
Baginya dan juga pembatik lainnya, jumlah ini tidak masalah. Namun, ini jadi masalah besar untuk anak-anaknya. Pekerjaan yang mengharuskan mereka untuk sangat teliti, butuh waktu lama, dan ekstra kesabaran, jumlah uang ini tidak masuk akal. Parahnya, pekerjaan ini dianggap tidak punya masa depan dan tidak gaul.
"Anak saya tidak mau mbatik, lebih senang kerja di konveksi untuk nyabutin benang celana jeans," tutur Tarwiah lirih, seperti yang dituliskan oleh Iwet Ramadhan pada bukunya yang bertajuk "Cerita Batik".
"Ah kalau semua anak muda seperti ini, dan Tarwiah sudah tak ada lagi, siapakah yang akan meneruskan kemampuannya membatik? Negeri ini benar-benang kekurangan suksesor," sesal Iwet dalam hati.
(Sumber : Buku Cerita Batik, karya Iwet Ramadhan, 2013)
Penulis :
Christina Andhika Setyanti
Editor :
D. Syafrina Syaaf
This entry passed through the Full-Text RSS service — if this is your content and you're reading it on someone else's site, please read the FAQ at fivefilters.org/content-only/faq.php#publishers. Five Filters recommends: