Banjarmasin, Sepuluh tahun terakhir, penggunaan KB di Indonesia stagnan yakni hanya 60 persen termasuk penggunaan tradisional. Akibatnya tingkat kesuburan atau Total Fertility Rate (TFR) juga tetap di angka 2,6. Sehingga, dapat dikatakan setiap satu wanita Indonesia memiliki peluang melahirkan tiga anak.
Menurut Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga BKKBN, Dr Sudibyo Alimoeso, MA, ada tiga penyebab tidak 'berkembangnya' penggunaan KB di Indonesia. Pertama, banyaknya kejadian unmeet need ketika wanita ingin sekali ber-KB tapi sayangnya tidak dilayani.
Selain itu, banyak wanita yang drop out atau tiba-tiba berhenti mengikuti program KB akibat kurangnya akses layanan kesehatan atau kurang disiplinnya masyarakat saat melakukan kontrol KB yang digunakan.
"Drop out banyak terjadi karena masyarakat masih pakai alat kontrasepsi jangka pendek misal pil atau suntik sehingga lupa mengulang atau kontrol," kata pria yang akrab disapa Dibyo ini usai menghadiri Konferensi Pers Rapat Konsultasi Bidang Program Kependudukan Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga (KKBPK) Tahun 2014 di Hotel Golden Tulip, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Selasa (22/4/2014).
Meski begitu, Dibyo menekankan pihak BKKBN tidak boleh menyalahkan komitmen pemerintah kabupaten/kota, justru program yang sudah digalakkan pemerintah daerah harus digencarkan. Untuk mengatasi hal ini, BKKBN pusat sudah berupaya memberi instruksi pada pemberi layanan kesehatan di daerah.
"Kita menginstruksikan untuk pelayanan kontrasepsi jangka panjang, kemudian kepada kepala BKKBN provinsi untuk sering turun ke lapangan, lalu harus menggarap pentingnya kesehatan reproduksi pada remaja," terang Dibyo.
Dengan begitu, saat si remaja menikah orang tua tak perlu lagi mengajari, sebab di awal pernikahannya, mereka sudah tahu pentingnya kesehatan reproduksi. Langkah ini juga untuk menekan angka kelahiran remaja yang masih tinggi.Next
(
rdn/mer)