TEMPO.CO, Jakarta -Bau dan derik suara ular langsung tertangkap telinga Andi bila di sekitar wilayah permukiman warga atau pabrik yang terletak di pedalaman dikunjungi oleh reptil berbisa itu. Bila sudah begitu, Andi harus waswas, tidak bergerak sedikit pun dan kadang-kadang melangkah pelan. Ia harus menjaga ritme langkahnya, terutama ketika menghindari serangan ular tanah, golongan ular berbahaya dengan bisa yang sangat mematikan.
"Ular tanah itu menyerang bila mangsanya bergerak dan mengeluarkan suara," kata Andi, juru bicara Sioux, komunitas pencinta ular dan penjinak ular, sekaligus staf Lembaga Studi Ular Indonesia, di Taman Cattleya, Jakarta Barat, pertengahan Oktober 2013 lalu. Selain melakukan kegiatan konservasi alam, Sioux sering memindahkan ular ke habitat aslinya.
Ketika benar-benar bertemu dengan ular tanah yang berbahaya, para awak Sioux biasanya tidak langsung bereaksi. Pertama-tama mereka akan diam sampai menunggu keadaan tenang dan ular tidak dalam keadaan terancam. Bila dirasa sudah kondusif, para awak Sioux menangkapnya dengan sebuah pengait dan tongkat penangkap. Ular yang tertangkap itu kemudian dimasukkan ke dalam jaring yang terbuat dari kain dan dibiarkan tetap hidup.
Bila ada tempat yang layak untuk memelihara ular tersebut, ular itu ditangkarkan. Bila tidak, ular tangkapan itu dilepas kembali ke alam bebas. "Tempat yang paling memungkinkan dan jauh dari jangkauan manusia hingga saat ini adalah jalur hijau di pinggir jalan tol," kata Andi. Tindakan itu dilakukan bila taman nasional atau cagar alam terletak jauh dari lokasi tempat penemuan ular.
Sioux berarti ular...
This entry passed through the Full-Text RSS service — if this is your content and you're reading it on someone else's site, please read the FAQ at fivefilters.org/content-only/faq.php#publishers. Five Filters recommends: