MARI Elka Pangestu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mengaku ada hal yang disesali tidak dilakukan sejak kecil. Apa itu?
"Saya menyesal tidak belajar membordir saat masih kecil. Padahal, ibu saya itu pintar membordir kain. Saat mau diajarkan, saya malah senang memanjat pohon. Sekarang yang terjadi, saya tidak bias. Padahal, itu warisan budaya dan seni yang sangat tinggi," katanya di Hotel Inna Muara Padang, Jumat, 4 November 2013.
Dalam acara pertemuan pengusaha dan pengrajin sulam & bordir Indonesia itu, Mari juga mengucapkan selamat kepada Yayasan Sulam Indonesia yang telah berjuang mempertahankan penyulam dan bordir, serta kembali mengangkatnya setelah tahun 2007 melatih mereka di bawah binaan Triesna Jero Wacik.
"Sulam dan bordir merupakan ajang kreatif yang baru, biasanya hanya tenun dan batik saya mengapresiasikan itu. Saat ini terkenal dengan bordir dan Sulam Agam, Sumatera Barat, bordir Jember dan sulam Bali. Saya meminta generasi muda untuk belajar bordir dan sulam ini, sebab ini adalah warisan budaya kita," katanya.
Bordir dan sulam ini memiliki nilai seni yang tinggi, sehingga bisa berjuang di kancah internasional, bukan nasional.
"Jangan menghitung berapa harga benang dan kainnya, tapi nilai hasil seni ini yang bernilai tinggi itu dan menyesuaikan dengan selera pasar," tambahnya.
Apalagi sekarang, Yayasan Sulam Indonesia telah terbuka motif baru, materi yang baru, dan warna berbeda yang disesuaikan dengan permintaan pembeli. Namun, Mari mengakui sisi lain daya saing benang dari luar negeri lebih murah.
"Tapi kalau volume permintaan benang dan produksi juga tinggi, tentu pihak pabrik bisa membantu mereka pengrajin ini yang tidak melulu dari benang sutra dan kain tenun saja," ujarnya.
Menurutnya, ini pekerjaan tangan dengan kualitas seninya lebih tinggi dibanding dengan mesin. Sebab, ketrampilan dan kreatifnya sangat berbeda dengan mesin.
Sementara itu, Ketua Yayasan Sulam Indonesia (YSI) Triesna Jero Wacik mengatakan, bordir dan sulam bisa memberikan kesejahteraan untuk masyarakat Indonesia yang memiliki budaya dan ciri khas masing-masing daerah.
"Bayangkan saja dulu di Jember, ratusan orang yang hendak jadi TKW keluar negeri. Setelah dilatih mereka membordir, kini mereka batalkan untuk jadi TKW, sebab banyak peluang pasarannya," ungkap Triesna.
(tty)This entry passed through the Full-Text RSS service — if this is your content and you're reading it on someone else's site, please read the FAQ at fivefilters.org/content-only/faq.php#publishers. Five Filters recommends: