Liputan6.com, Jakarta Seorang anak akan menyontoh apa yang dilakukan orangtuanya. Termasuk dalam hal merokok. Di Indonesia, jumlah perokok wanita dan anak-anak mengalami peningkatan yang cukup signifikan, bahkan disebut tertinggi di dunia. Angkanya pun mencapai 20 juta jiwa.
Secara angka, kondisi ini cukup memprihatinkan. Apalagi bila kita tahu dampak buruk yang akan dirasakan para perokok itu di masa yang akan datang.
Demikian penjelasan dr. Prasetyo Widhi Buwono, SpPD dari Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta di Kantor Pusat Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (20/5/2014)
Untuk menghentikan langsung kebiasaan buruk ini memang sulit. Tapi, untuk mencegah terjadinya mata rantai dinilai jauh lebih mudah. "Berikan penyuluhan saja sejak mereka duduk di bangku sekolah dasar (SD). Penyuluhan berupa bahaya dari merokok, dan dampak buruknya di masa depan," kata dia menambahkan.
Tampaknya, penyuluhan ini sangatlah perlu. Mengingat di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) saat ini, penyakit akibat perokok pun masih ditanggung. Akibatnya, para perokok merasa aman, jika suatu saat akan sakit, pemerintah sudah menanggungnya.
"Sistem JKN saat ini justru membuat jumlah perokok bertambah. Kalau pun sakit, mereka aman karena disembuhkan menggunakan JKN. Secara tak langsung, para perokok ini sudah dibayar menggunakan uang rakyat," kata dia menerangkan.
Menurut Widhi, biaya yang harus dikeluarkan untuk biaya penyakit akibat rokok jauh lebih tinggi dibandingkan cukai rokoknya. Sekitar Rp 150 triliun, sedangkan cukai rokok sebesar Rp 100 triliun.
Di luar negeri, tambah dia, orang yang kaya raya adalah orang yang bekerja di bidang properti, IT, konsultan, dan pengacara. Di Indonesia, orang-orang kayanya adalah orang yang memiliki pabrik rokok atau disebut olehnya sebagai `juragan rokok`.
Yang lebih membuat hati miris, pengeluaran untuk rokok paling tinggi justru di masyarakat ekonomi rendah. Bahkan, pengeluaran ini lebih tinggi dibandingkan untuk pengeluaran gizi.
"Biayanya itu 12 persen untuk rokok, dan 3 persen untuk gizi. Ini seharusnya dibalik. Kalau perlu, yang rokok 0 persen," kata dia menerangkan.
Maka itu, dengan adanya penyuluhan sejak di sekolah dasar (SD), akibat-akibat seperti ini dapat ditekan, termasuk juga mencegah terjadinya peningkatan jumlah pecandu narkoba dan HIV di Indonesia.
"Biasanya, kalau sudah nyandu, mereka pun akan menjadi pecandu narkoba," kata dia menekankan.
(Gabriel Abdi Susanto) ;
This entry passed through the Full-Text RSS service — if this is your content and you're reading it on someone else's site, please read the FAQ at fivefilters.org/content-only/faq.php#publishers.