Jakarta, Organisasi kesehatan dunia (WHO) melarang segala bentuk Female Genital Mutilation (FGM), termasuk sunat perempuan. Dengan batasan tertentu, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia selama ini masih memperbolehkan sunat perempuan.
Batasan-batasan tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 1636/2010 tentang Sunat Perempuan. Di antaranya, hanya boleh dilakukan oleh tenaga medis yang berizin, harus mengikuti prosedur tertentu, dan tidak boleh merusak klitoris.
Meski tujuannya adalah mencegah praktik sunat perempuan yang berbahaya yang dikategorikan WHO sebagai FGM, Permenkes ini banyak ditentang terutama oleh aktivis perempuan. Mereka menganggap, Permenkes ini rentan memicu pelanggaran hak-hak perempuan.
Kini beredar kabar, Permenkes tersebut telah dicabut. Saat dimintai konfirmasi, Wakil Menteri Kesehatan Ali Gufron Mukti belum bisa memberikan jawaban dengan alasan sedang berada di luar kota. "Saya sedang di Makassar," katanya melalui pesan pendek.
Atashendartini Habsjah, MA dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) yang pernah melakukan penelitian tentang sunat perempuan pun mengaku belum mendapatkan kejelasan tentang kabar tersebut. "Masih simpang siur informasinya," katanya.
Di kalangan tenaga kesehatan, Ikatan Bidan Indonesia (IBI) pun belum mendapatkan sosialisasi tentang kabar pencabutan Permenkes Sunat Perempuan. Ketua IBI, Emmy Nurjasmi yang mendukung pencabutan, mengaku belum mendapat kabar tentang hal itu.
"Belum tahu belum dapat kabarnya. Belum dapat informasi," katanya saat dihubungi detikHealth, seperti ditulis pada Senin (24/2/2014).
Sunat perempuan, selama ini masih diperbolehkan asal mengikuti ketentuan-ketentuan dalam Permenkes No 1636/2010. Jika benar peraturan tersebut dicabut, masih bolehkah praktik sunat perempuan dilakukan di Indonesia?
(up/vit)