Liputan6.com, Jakarta Sejumlah sekolah dasar mengadakan tes membaca, menulis, dan menghitung (calistung) untuk seleksi masuk. Padahal, cara tersebut membuat sejumlah TK berlomba-lomba memforsir anak-anak itu dengan pelajaran calistung.
"Anak TK kalau belum bisa jangan dipaksa (calistung). Tapi, karena masuk SD ada tes calistung, TK berlomba-lomba mengajarkan calistung. Padahal itu belum boleh," kata Pemerhati Anak Seto Mulyadi (Kak Seto) saat dihubungi Tim Health Liputan6.com, Jakarta, Jumat (2/5/2014).
Memaksakan anak untuk belajar yang belum menjadi kompetensinya, lanjut Kak Seto, bisa membuat anak stres dan mudah frustasi.
"Banyak anak yang menjadi stres. Baru masuk kelas 5, 6 sudah capai (capek) belajar, jadi bandel. Ibaratnya lari maraton 100 meter sudah digeber, jadinya capek," kata Kak Seto.
Tak hanya calistung, menurut Kak Seto, anak-anak yang waktu belajarnya diforsir (dipaksakan) juga bisa membuat anak kelelahan. Anak-anak itu membutuhkan waktu untuk bermain karena bermain menjadi kebutuhan dasar.
"Bermain berpengaruh ke pendidikan. Kesempatan untuk menggerakkan otot motorik bisa membuat kemampuan berpikirnya lebih realitas,
"Di TK juga jangan banyak duduknya tapi perbanyak bermain, keluar, berlari-lari, melompat, Kalau tidak, anak-anak mudah frustasi, mudah marah," katanya.
Berdasarkan Situs Kemendikbud, Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Musliar Kasim pernah menyampaikan pelarangan tes calistung.
Menurutnya, penerimaan peserta didik baru (PPDB) untuk SD atau madrasah ibtidaiyah (MI) serta sederajatnya hanya dilakukan berdasarkan usia, bukan berdasarkan hasil tes masuk.
(Abd)
This entry passed through the Full-Text RSS service — if this is your content and you're reading it on someone else's site, please read the FAQ at fivefilters.org/content-only/faq.php#publishers.