Jakarta, Program pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bertujuan menyediakan akses layanan kesehatan pada seluruh masyarakat Indonesia. Lantas dari segi obat-obatan, agar biaya tetap efisien namun tak menurunkan kualitas pelayanan, mana yang harus dipilih?
"Tingginya biaya pengobatan, yang antara lain disebabkan oleh kurangnya keampuhan suatu obat, akan berdampak pada beratnya beban pembiayaan program JKN," ujar Luthfi Mardiansyah, Ketua International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG), dalam media briefing yang diselenggarakan di Hotel Aston Rasuna, Jl HR Rasuna Said, Jakarta, Selasa (20/5/2014).
Oleh sebab itu peningkatan kesadaran mengenai praktik kesehatan, khususnya efisiensi pembiayaan dalam sektor industri farmasi, menjadi penting untuk meningkatkan sistem pelayanan kesehatan di Indonesia.
Sementara diungkapkan oleh Ketua Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Drs Nurul Falah Eddy Pariang, Apt, bahwa jika sebelumnya obat dijadikan komoditi dagang, maka saat ini apoteker harus lebih 'muncul' dan memberikan penjelasan efisien.
Obat bukan sekadar murah atau efektif, tapi juga perlu diperhatikan hal-hal lainnya seperti dari sisi efek samping, interaksi (agar dipahami jarak konsumsi obat yang tepat), dan lain-lain. Sehingga harapannya efek terapi obat, apapun jenisnya, bisa maksimal dirasakan pasien.
"Yang pasti dalam JKN dokter 'dipaksa' berubah sikap dan lebih peduli. Dengan sistem pembayaran kapitasi dan INA-CBGs, risiko akibat obat tak lagi ada di pasien tapi juga ada di dokter. Dia harus berpikir agar obat tak cuma efektif, tapi dari sisi biaya juga efisien," terang pakar ekonomi kesehatan FKM UI, Prof dr Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH.
Dengan JKN, dokter dan rumah sakit sepatutnya bisa bekerja secara tim untuk menilai dan memilih obat yg cost-effective, bukan sekadar murah. "Kalau agak mahal tapi efektifitasnya tinggi, saya lebih pilih itu," tegas Prof Hasbullah.
(ajg/up)