PRO dan kontra seputar keikutsertaan perusahaan dan perorangan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terus berdatangan. Hal ini khususnya menyoroti benefit yang didapat peserta terkait layanan kesehatan yang diikutinya.
Diundangkannya peraturan di bidang layanan kesehatan yaitu Undang-undang RI No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-undang RI No. 24 tahun 2009 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, maka sejak 1 Januari 2014 Indonesia memasuki era cakupan nasional menyeluruh jaminan layanan kesehatan (universal healthcare coverage).
Melalui kepesertaan di BPJS Kesehatan, diharapkan tidak akan ada lagi masyarakat yang ditolak oleh rumah sakit untuk berobat karena masalah biaya. Sesuai UU SJSN, PT Askes (Persero) adalah pengelola jaminan sosial di bidang kesehatan dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional. Sebelumnya, PT Askes telah melaksanakan serta menunjang program maupun kebijakan pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan nasional, terutama dalam penyelenggaraan asuransi sosial melalui penyediaan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi pegawai negeri sipil (PNS), penerima pensiunan, veteran dan perintis kemerdekaan beserta keluarganya, juga masyarakat umum.
Penetapan angka iuran kepesertaan pun sudah muncul. Untuk pekerja formal, instansi pemerintah disepakati sebesar 5 persen dari gaji. Dari jumlah itu, sebanyak 3 persen menjadi kewajiban pemberi kerja, dan 2 persen menjadi kewajiban pekerja sendiri. Untuk swasta, perusahaan akan dibebani iuran 4 persen, dan 1 persen lainnya dibebankan kepada karyawan. Dengan iuran itu, pekerja dan keluarganya mendapatkan jaminan kesehatan. Untuk sektor informal, besaran iuran premi ditanggung oleh pekerja sendiri yang dibayar setiap bulan. Bila pekerja ingin mendapatkan layanankesehatan di kelas III, besaran iuran Rp 25.000, kelas II Rp 42.000 dan kelas I Rp 59.500 per bulan.
Belum gamblangnya aturan turunan turut menjadi tantangan pengelola BPJS Kesehatan. Seperti diungkap Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Pengupahan dan Jaminan Sosial Haryadi Sukamdani bahwa ia tidak akan ikut dalam BPJS Kesehatan untuk sementara waktu. Pasalnya, mekanisme koordinasi manfaat atau Coordination of Benefit (COB) pelaksaaan BPJS kesehatan belum keluar.
Menurutnya, hal ini bisa menimbulkan masalah di internal perusahaan karena karyawan akan merasa haknya dikurangi. Kalangan tenaga medis seperti dokter pun turut merasa keberatan karena merasa tidak dilibatkan dalam pengaturan BPJS Kesehatan. Berdasarkan hitungan IDI, angka nominal rasional yang sesuai dengan sisi keekonomian dan profesionalitas adalah Rp 60.000 per orang.
UU No. 40 tahun 2004 tentang SJSN dan UU No. 24 tahun 2009 tentang BPJS mengikat seluruh masyarakat maupun perusahaan di Indonesia, termasuk Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Khusus untuk perusahaan BUMN, hal ini dipertegas dengan komitmen pimpinan 140 Perusahaan BUMN untuk mendukung implementasi jaminan kesehatan nasional melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang ditandatangani pada 21 Oktober 2013 lalu di Sukabumi, Jawa Barat.
Sebagai arah tahapan pencapaian tujuan tersebut, kepada perusahaan seperti BUMN yang dikategorikan "perusahaan besar", telah diterbitkan Buku Peta Jalan Menuju Jaminan Kesehatan Nasional 2012 – 2019. Buku yang diterbitkan pada November 2013 tersebut dijelaskan bagaimana dalam tenggat "masa tunggu", perusahaan besar dan yang telah menata sistemnya sendiri harus mulai terlibat secara bertahap. Tantangan inilah yang menarik bagi pemerhati, peminat dan bagi mereka yang peduli pada penataan layanan kesehatan, khususnya di BUMN.
Seperti diketahui, setiap perusahaan BUMN saat ini telah memiliki tatanan untuk mengelola benefit layanan kesehatannya masing-masing. Harus diakui juga, benefit tersebut berbeda antara BUMN yang satu dengan lainnya. Namun pada umumnya benefit tersebut berada di atas rata-rata benefit layanan masyarakat pada umumnya.
Dari pihak pemangku kepentingan di perusahaan BUMN hal itu tentu sangat beralasan. Faktor pola penyakit, risiko pekerjaan, dan persyaratan ketentuan perundangan lain, merupakan alasan diberikannya benefit layanan kesehatan yang berbeda dari layanan kesehatan masyarakat pada umumnya.
Adanya potensi "perbedaan" benefit BPJS Kesehatan, dan keinginan BUMN untuk memastikan layanan terbaik bagi pekerja dan keluarganya – menimbulkan suatu pertanyaan "Bagaimana tatanan benefit layanan kesehatan untuk BUMN di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)?"
dr. Sapto Pudjo Hw., MARS. AAAK, Health & Medical Management PT Pertamina (Persero) mengatakan, sebagai pekerja tentu kita bersepakat untuk dapat memastikan benefit layanan kesehatan, tidak banyak berkurang dari kondisi maupun fasilitas yang selama ini dirasakan. Untuk itu, bersamaan dengan persiapan menghitung besaran premi rupiah kepesertaan BUMN di BPJS, diperlukan suatu kajian yang lebih mendalam mengenai bentuk benefit layanan yang akan diperoleh," ungkapnya seperti tertulis dalam rilis yang diterima Okezone, baru-baru ini. (ind)
This entry passed through the Full-Text RSS service — if this is your content and you're reading it on someone else's site, please read the FAQ at fivefilters.org/content-only/faq.php#publishers.