BAHAYA rokok yang mengandung zat adiktif seolah tidak menjadi peringatan bagi para perokok aktif. Apalagi Indonesia hingga kini belum meratifikasi Framework Convention on Tobaco Control (FCTC) yang berisi dokumen berbasis bukti ilmiah yang menegaskan bahwa setiap orang berhak mendapatkan derajat kesehatan setinggi-tingginya.
Penghasilan negara dari rokok berasal dari kantong masyarakat di segala lapisan. Belum lagi rokok memang menjual efek adiktif pada remaja.
Perwakilan Southeast Asian Tobacco Control Allance (SEATCA) dan Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) dr Widyastuti Suroyo, M.Kes mengatakan, liberalisasi pemasaran rokok menyebabkan jatuhnya korban perokok baru di usia 10-14 tahun yang prevalensinya terus meningkat. Tahun 2001 jumlahnya 1 juta perokok muda, tahun 2010 meningkat empat kali lipat di angka 4 juta perokok muda.
"Prevalensi dewasa dan anak-anak terus meningkat, 70 persen perokok mulai merokok dibawah 19 tahun," ungkapnya di Kampus UI, Depok, Jawa Barat baru-baru ini.
Mitos terakhir dikatakan bahwa lahan pertanian tembakau menurun, namun impor meningkat. Jumlah petani tembakau kurang dari 1 juta. Indonesia malah menjadi tujuan pasar industri asing.
"Penjajahan gaya baru. Industri produk adiktif legal, mengeksploitasi efek adiksi. Kami mendorong pemerintah meratifikasi FCTC segera. Lalu, peningkatan cukai dan harga rokok, serta memperbanyak Kawasan Tanpa Rokok (KTR) secara efektif," tegasnya.
Berbagai macam modus industri rokok di Indonesia antara lain mengganggu proses ratifikasi/aksesi pelaksanaan FCTC, meminta untuk menjadi bagian dari setiap satuan tugas pengendalian tembakau nasional atau sub nasional atau komite. Selain itu, industri rokok mempromosikan regulasi sukarela pada per-Undang-Undang.
(fik)
This entry passed through the Full-Text RSS service — if this is your content and you're reading it on someone else's site, please read the FAQ at fivefilters.org/content-only/faq.php#publishers.
