Jakarta, Perokok seringkali menjadi sasaran kemarahan masyarakat non-perokok. Pasalnya, asap rokok yang dihasilkan memang tidak hanya merugikan si perokok sendiri, namun juga orang disekitarnya. Bahkan dikatakan bahwa perokok pasif memiliki risiko terserang penyakit lebih berat daripada perokok aktif.
Tak jarang pula kita dengar keluhan perokok pasif yang menjadi korban asap rokok. Namun dr Adang Bachtiar, MPH, DSc dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) mengatakan bahwa sejatinya perokok pun adalah korban, sehingga tidak boleh dimusuhi apalagi dibenci.
"Perokok itu korban. Mereka korban ketidaktahuan dan juga korban tekanan lingkungan, jangan dimusuhi," tutur dr Adang kepada detikHealth di sela-sela acara Indonesian Conference on Tobacco or Health 2014 di Hotel Royal Kuningan, Jalan Kuningan Persada, Kuningan, Jakarta Selatan, seperti ditulis Sabtu (31/5/2014).
dr Adang menjelaskan bahwa biasanya seseorang merokok akibat tekanan dari pergaulan. Laki-laki khususnya, akan diejek tidak jantan atau tidak macho jika tidak merokok. Prinsip ini sangat kental di kalangan pelajar dan mahasiswa.
Tak hanya itu, iklan rokok yang membanjiri jalanan juga menjadi faktor masyarakat untuk merokok. dr Adang mengatakan bahwa para perokok pemula tidak tahu bahwa barang yang menurutnya dihisap agar keren dan nampak jantan tersebut sejatinya adalah racun yang dapat merusak tubuh.
"Di jalanan lihat iklan rokok, ketemu teman sedang merokok. Belum lagi di rumah misalnya ayahnya merokok, jadilah anak muda kita sekarang korban rokok," sambungnya lagi.
Senada dengan dr Adang, Ketua Dewan Penasihat Komnas Pengendalian Tembakau, dr Kartono Muhammad mengatakan bahwa memang, perokok pemula dari kalangan muda harus diperlakukan dan diterapi sebagai korban, bukan malah dimusuhi atau bahkan dibenci dan dihukum.
"Sama kayak pemakai narkoba saja. Mereka tidak tahu kalau rokok itu racun, yang akhirnya menyebabkan kecanduan, sehingga tidak serta-merta disalahkan. Seperti narkoba juga kan ada pengedar ada yang produksi, itu yang harus dihukum," ungkap dr Kartono.
(up/up)