Dua pelari melintasi kawasan Gunung Bromo saat mengikuti Bromo Marathon, di desa Wonokitri, Pasuruan, Jawa Timur, (1/9). Ajang yang memanfaatkan keindahan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru ini menempuh jarak 42 kilometer. TEMPO/Fully Syafi
TEMPO.CO, Jakarta - Lari lintas gunung, atau kerap disebut trail running maupun ultra trail, mulai marak di Indonesia dua tahun lalu. Dan setahun belakangan jumlah pelari lintas gunung meningkat drastis. Grup Trail Runners Indonesia di situs jejaring sosial Facebook kini beranggotakan sekitar 2.600 orang.
Pun pendaftar kompetisi lari Gunung Bromo-Tengger-Semeru (BTS) Ultra dan Mount Rinjani Ultra (MRU) yang diprakarsai Nefo Ginting, 51 tahun, dan kawannya, Hendra Wijaya, tahun ini lebih dari 700 orang.
"Jumlah itu meningkat lebih dari tiga kali lipat dibanding tahun lalu," kata Nefo. Menurut dia, kebanyakan pelari gunung yang ikut kompetisi adalah pencinta alam dan pelari maraton yang mencari tantangan lebih ekstrem.
Maklum, jarak yang mesti ditempuh si pelari gunung lebih dari 50 kilometer, atau lebih panjang dibanding pelari maraton yang "hanya" 42,195 kilometer. Trek yang mesti ditaklukkan pun lebih berat karena topografi gunung yang menanjak dan curam.
Stamina pelari lintas gunung juga harus luar biasa prima karena saat kompetisi mereka diberi tenggat waktu untuk menyelesaikan trek. Walhasil, kedua kaki mesti digeber berlari gila-gilaan. Istirahat pun tak boleh lama. "Penting bagi seorang pelari lintas gunung mengatur waktu tempuh dengan kemampuan fisik mereka. Apalagi, dalam kompetisi, durasi sangat penting," kata Nefo.
ISMA SAVITRI
Berita Terpopuler:
Ingin Jadi Cawapres, Ical Kejar Mega ke Bali
Jokowi: Saya Memang Belum Pernah Jadi Presiden
Hujatan Video Mulan Jameela di YouTube
Olga Syahputra, dari Asisten hingga Presenter Kaya
Kiai PKB Resmi Dukung Jokowi Jadi Capres