Jakarta, Tak hanya orang dewasa, dalam keseharian kini anak-anak pun tak bisa lepas dari pengaruh tayangan televisi atau lagu-lagu orang dewasa. Lantas, bagaimana menyikapi hal ini agar perkembangan anak tak mendapat pengaruh buruk dari tayangan atau lagu orang dewasa?
Menurut psikolog Ratih Zulhaqqi M.Psi, karena lagu anak-anak memang saat ini jarang bahkan nyaris tidak ada, jadi tidak bisa pula dikatakan bahwa mendengarkan lagu orang dewasa murni kesalahan anak. Apalagi anak juga sering mendengar lagu itu saat orang-orang di sekitar yang memutarnya.
"Orang tua bisa membelikan CD lagu anak-anak mungkin. Tapi yang perlu diingat bahwa anak itu just singing, dia tidak terlalu memahami maknanya," terang Ratih saat berbincang dengan detikHealth dan ditulis pada Kamis (6/2/2014).
Lalu, bagaimana jika anak menanyakan makna salah satu lirik lagu? Ratih mengambil contoh jika anak menanyakan apa itu sakit hati,maka sesuaikan dengan konteks umur anak.
"Katakan kalau sakit hati itu ketika kamu punya pensil lalu teman kamu mengambil pensil itu diam-diam, apa yang kamu rasakan? Kesal kan? Nah sakit hati seperti itu," tutur Ratih.
Beda dengan mendengarkan lagu yang dikatakan Ratih just singing, saat menyaksikan televisi, anak bisa meniru apa yang dilakukan tokoh di sebuah tayangan selama orag tua tidak mendampingi dan tidak memberi penjelasan. Dengan memperbolehkan anak menonton TV secara tidak langsung memberi kesempatan bagi anak untuk meniru apa yang ia lihat.
"Maka dari itu perlu adanya aturan, jam berapa saja anak bisa menonton TV serta tayangan apa yang boleh ditonton. Jangan lupa ini perlu juga peran dari pengasuh atau orang yang ada di rumah," kata Ratih.
Nah, dalam keseharian sering ditemui kartun yang mengandung kekerasan, tokoh superhero, atau kartun tanpa suara. Menurut Ratih, sejak dini orang tua tidak perlu mengenalkan kartun yang mengandung kekerasan pada anak. Jika sudah terlanjur pastikan pada anak bahwa hal itu tidak nyata, hanya ada di televisi. Begitu juga dengan tokoh superhero yakinkan bahwa superhero itu tidak ada di kehidupan nyata.
"Kalau kartun tanpa suara, jika si anak belum bisa bicara, itu bisa berpengaruh pada kemampuan bicaranya. Tapi kalau dia sudah bicara, orang tua perlu kroscek lagi, berpengaruh nggak tayangan itu pada proses bicara anak," pungkas Ratih.
(rdn/up)
This entry passed through the Full-Text RSS service — if this is your content and you're reading it on someone else's site, please read the FAQ at fivefilters.org/content-only/faq.php#publishers.