Jakarta, Masalah gizi buruk pada ibu hamil, anak, dan anak tumbuh pendek (stunting) masih menjadi masalah kesehatan ibu dan anak di Indonesia. Untuk mengatasinya, perlu tindakan di 1.000 hari pertama kehidupan (HPK) anak bahkan ketika si ibu masih remaja.
Seperti diutarakan Direktur Bina Gizi Ditjen Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kemenkes, Ir Doddy Izwardy, MA, saat hamil ibu memerlukan perawatan kehamilan, di antaranya kunjungan ke bidan atau dokter sebulan sekali untuk mengecek kondisi ibu dan bayi.
Apalagi, masa hamil merupakan masa kritis yang bisa membuat ibu sulit makan, nafsu makan menurun, hingga asupan yang diikonsumsi tidak memenuhi gizi seimbang dan akhirnya berpengaruh pada anak, demikian dikatakan Doddy.
"Kalau ditarik ke belakang dari remaja putri, umumnya mereka anemia karena mereka bisa sangat sensitif dan cenderung pilih-pilih, padahal gizi seimbang kan harus ada karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral," tutur Doddy
Hal itu ia sampaikan usai konferensi Pers Program Peningkatan Gizi Ibu, Bayi dan Anak, Dalam Rangka Gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) di Jawa Timur di JS Luwansa Hotel, Jakarta, Senin (14/7/2014).
Nah, pola konsumsi yang tidak baik itu nantinya dikhawatirkan saat berumah tangga dan hamil, apalagi ketika mereka berusia di bawah 20 tahun, nantinya akan terjadi saling 'berebut' zat gizi antara si ibu dan anak. Sebab, si ibu juga masih dalam masa pertumbuhan.
Di Indonesia, angka anak tumbuh pendek menurut Riskesdas tahun 2013 mencapai 37,2%. Di mana NTT menjadi wilayah dengan jumlah anak stunting tertinggi di atas 40%. Untuk mengingkatan gizi ibu, bayi, dan anak, Global Alliance for Improved Nutrition (GAIN) bekerja sama dengan Kemenkes dan Kedutaan Besar Belanda mengadakan program Peningkatan Gizi Ibu, Bayi dan Anak, Dalam Rangka Gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).
Program ini dilaksanakan di kabupaten Sidoarjo dan Malang sebagai dua daerah percontohan. Program yang dilakukan yakni penyediaan akses produk gizi yang lebih mudah, perubahan perilaku (pola pemberian makan anak dan cuci tangan), perbaikan sistem layanan kesehatan, dan akses minum air.
"Kami juga menayangkan iklan di tv lokal tentang ASI eksklusif, pemberian MP-ASI dan camilan sehat bagi anak. Sebab, penelitian di Sidoarjo menunjukkan perilaku memberi makan berpengaruh terhadap status gizi anak dan 3 masalah tadi," kata dr Agnes Malipu selaku Maternal, Infant, and Young Child Nutrition project manager.
Pemberian ASI eksklusif rendah, komposisi MP-ASI kurang seimbang dianggap padat gizi tapi kenyataannya lebih banyak diberi nasi atau bubur. Anak dikasih camilan supaya berhenti nangis atau memang sering dikasih, jadi pas tiba waktu makan nggak lapar lagi," pungkas dr Agnes.
(rdn/up)