Jakarta, Memfoto diri sendiri alias selfie belakangan menjadi tren. Tidak hanya foto selfie bersama teman, kini ada pula foto selfie bersama tunawisme, setidaknya itu yang terjadi di luar negeri. Nah, bagaimana dokter jiwa menanggapi fenomena ini?
Selfie berarti potret diri yang diambil diri sendiri dengan menggunakan kamera digital ataupun kamera handphone. Biasanya hasil foto selfie akan diunggah ke jejaring sosial. Kepopuleran kata selfie, membuat kata ini dimasukkan ke dalam Oxford English Dictionary, dan pada bulan November 2013, Oxford Dictionary menobatkan kata ini sebagai Word of the Year tahun 2013.
dr. Eka Viora, SpKJ, Direktur Bina Kesehatan Jiwa, Kementerian Kesehatan berpendapat tren selfie ini jika dipandang tentu saja tidak etis. Mereka harusnya berempati dengan keadaan sekitar, bukannya malah mengeksploitasi kemiskinan ataupun orang-orang yang tidak mampu.
"Kalau kita lihat lagi secara etika itu memang pantas. Ada memang orang-orang berbuat sesuatu yang di luar norma-norma sosial," lanjut dr Eka n saat ditemui pada acara pemutaran film perdana Shadows of the Past di Plaza Senayan, Jl. Asia Afrika, Jakarta Pusat, dan ditulis pada Sabtu (15/2/2014).
Dia menambahkan terdapat ciri narsistik untuk memenuhi kebutuhan rasa narsis orang yang gemar foto selfie. Bahasa narsis yang sering dipergunakan oleh masyarakat, sebenarnya merupakan ciri ingin membanggakan diri dan sebagainya
Menurutnya hal tersebut dilakukan oleh seseorang yang memang ingin eksis. Jika seseorang itu memiliki rasa percaya diri, maka mereka tidak perlu terlalu sering melakukan selfie. Terkadang juga selfie merupakan pengalihan, karena orang tersebut merasa kurang diperhatikan.
dr Eka menambahkan hal tersebut terkait dengan ciri narsistik yang ada pada seseorang. Jika hal tersebut dilakukan sampai dewasa maka akan benar-benar terbentuk kepribadian narsistik tersebut.
(vit/vit)