Dian Pelangi pertama kali mengikuti peragaan busana pada 2009 di Melbourne, Australia, dalam acara Islamic Fashion Festival. Sebanyak 40 set busana yang ia tampilkan langsung mendapat sorotan dari koran 'The Age'. TEMPO/Nurdiansah
TEMPO.CO , Jakarta: Dian Pelangi bukan desainer yang muncul kemarin sore. Desainer muda ini telah memulai bisnisnya sejak belia dan menjadi pemegang tongkat estafet bisnis keluarganya yang semula sebagai pedagang kain tenun dan songket. (Baca juga: Dewi Sandra Belajar Pakai Jilbab dari Dian Pelangi)
Bisnis busana Dian Pelangi dirintis pada 1991 oleh Hernani, ibu Dian. Ibu rumah tangga ini berdagang kain tenun dan songket di Palembang, dari rumah ke rumah. Pada 1998 bisnis Djamaloedin--ayah Dian--di bidang konstruksi terkena krisis. Ia pun banting setir ke bisnis kain.
Djamaloedin menjaminkan tanah 1.500 meter persegi di Palembang ke Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) untuk memperoleh kredit Rp 15 juta. Setelah modal bertambah, Djamaloedin mulai membikin tenun ikat sendiri, dengan 10 orang karyawan saat itu.
Sebagai putra Pekalongan, Djamaloedin akrab dengan batik. "Walaupun kontraktor, saya ngerti bagaimana membikin kain yang tidak luntur," ujarnya. Dulu, katanya, di kalangan penggemar batik ada ujaran 'luntur tidak ditanggung'. Sindiran itu menginspirasi bapak empat anak ini untuk membuat tenun ikat sendiri.
Frasa itu pun dibalik: 'Ditanggung tidak luntur'. Sejak itu, kain buatan Djamaloedin laris manis. "Sampai Pak Gubernur pun pesan," kata Djamaloedin ditemui Tempo di kediamannya di Kemang, Jakarta Selatan, 11 Juli 2014 lalu. (Baca: Dian Pelangi Tampilkan Motif Songket Palembang)