Jakarta, Saat kumpul keluarga, pertanyaan 'kapan kawin?' lebih banyak disampaikan oleh kerabat yang bukan dari keluarga inti. Siapa sangka, seringkali justru orang tua kandunglah yang penasaran ingin tahu kapan anaknya menyudahi masa lajang.
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu pun akhirnya dititipkan melalui kerabat, karena orang tua merasa sungkan untuk menanyakan sendiri secara langsung pada anaknya. Selain karena canggung, bisa juga karena tidak ingin anaknya kepikiran lalu gegabah asal-asalan memilih jodoh.
Apapun alasannya, pertanyaan yang menyangkut pilihan hidup bisa terasa sangat sensitif dan menjadi beban mental yang luar biasa. Terlebih jika menyangkut jodoh, dan ditanyakan pada kelompok usia 30 tahun ke atas yang menurut anggapan kebanyakan masyarakat sudah seharusnya berkeluarga.
Tidak jarang di antara mereka akhirnya memutuskan untuk menjalin hubungan dengan seseorang, baik sekedar pacaran atau bahkan menikah, hanya untuk menghindari pertanyaan seperti itu. Banyak yang akhirnya hidup bahagia, tetapi siapa yang bisa menjamin?
"Keputusan untuk menikah yang seperti itu nggak rasional, tapi lebih ke arah emosional," jelas Anna Surti Ariani, M.Psi, seorang psikolog keluarga dari Klinik Terpadu, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, kepada detikHealth seperti ditulis Senin (28/7/2014).
Menurut psikolog yang akrab disapa Nina ini, idealnya sebuah pernikahan didasari oleh rasa sayang di antara kedua pasangan. Pernikahan yang buru-buru hanya untuk memenuhi harapan orang lain bukan sesuatu hal yang dianjurkan, meski ada juga yang melakukannya dan baik-baik saja.
Baca juga:
Dibanding Laki-laki, Perempuan Lebih Sering Ditanya 'Kapan Kawin?' | Ragam Cara Menghadapi Pertanyaan Jayus 'Kapan Kawin?' | Psikolog: Stop Bertanya 'Kapan Kawin' Saat Lebaran!
(up/up)