TEMPO.CO, Jakarta - Karena perekonomian Indonesia begitu maju, jumlah miliarder di negara ini akan meningkat drastis dalam satu dekade mendatang. Bisnis yang melayani kaum superkaya ini pun bermunculan, seperti dilaporkan Editor BBC Indonesia, Karishma Vaswani.
***
Pembawa acara pada pesta amal untuk ratusan anak yatim-piatu di sebuah mal mewah di jantung Kota Jakarta tampil maksimal malam itu. Mereka tertawa dan bertepuk tangan saat kelompok penari sufi berputar-putar diiringi lantunan musik Arab dari pengeras suara.
Di sekeliling anak-anak itu terdapat berbagai macam makanan dan kue-kue manis serta meja panjang penuh dengan tas bingkisan.
Ini adalah "Jakarta with Love" acara buka puasa bersama yang diadakan oleh sekelompok istri dan kekasih orang-orang terkaya di Indonesia.
"Kami mengumpulkan Rp 360 juta untuk acara ini," kata Heidi, sosialita asal Jakarta kepada saya, sambil mengipasi dirinya dengan tas merek Gucci. "Kami ingin memberikan kebahagiaan yang kami miliki di hidup kami kepada anak-anak ini."
Acara buka puasa bersama anak-yatim di mal mewah. Selain jamuan buka puasa bersama, para sosialita juga kerap mengadakan acara mewah yang lazim disebut arisan.
Secara tradisional, arisan adalah komunitas ibu-ibu yang memadukan kegiatan menabung uang dan bersosialisasi.
Wulan dan kawan-kawannya adalah anggota dari sedikitnya empat klub arisan.
"Kami mengumpulkan uang dari semua anggota klub setiap bulan," ujarnya. "Lalu, saat nama Anda keluar, Anda akan mendapat semua uang itu. Jadi, ini seperti menyimpan uang di bank. Tapi ini bukan bank, ini klub ibu-ibu!"
Namun ini bukan sekedar klub ibu-ibu biasa. Untuk menjadi anggota, seseorang harus merogoh kocek dalam-dalam.
"Uang arisan bulanannya bervariasi, dari Rp 1 juta hingga Rp 100 juta," tutur Wulan sambil tersenyum. "Bayangkan saja besar uang yang didapat, setiap anggota bisa mengantongi US$ 100.000 dalam sebulan!"
Jumlah itu sangat besar di negeri ini, yang upah minimum berkisar US$ 250.
Para perempuan anggota klub arisan ini datang dari keluarga-keluarga terkaya di Indonesia. Menghabiskan uang sejumlah itu bukanlah kemewahan bagi mereka. Sebab, itu adalah sebuah keharusan.
Dalam acara ini, mereka mengambil selfie dengan ponsel berhiaskan aksesori gemerlap. Yang lain memeriksa riasan wajah tatkala anak-anak yatim-piatu yang menjadi pusat acara ini hanya bisa memandangi mereka.
Semua perempuan ini punya beberapa kesamaan: berpakaian indah, bersepatu tinggi, dan dilengkapi tas cantik.
Para sosialita ini menenteng tas paling trendi dan paling mahal di Jakarta dengan harga mencapai ratusan juta rupiah.
Anggaran tak terbatas
Gairah akan kemewahan di kalangan orang kaya Indonesia membantu tumbuhnya berbagai jenis bisnis.
"Wanita-wanita itu suka membeli tas Hermes, Chanel, atau Louis Vuitton," kata Dini Indra kepada saya. Dini adalah CEO Butterfly Republic, perusahaan yang khusus membeli, menjual, dan menyewakan tas-tas mewah kepada kalangan tertentu.
"Tas saya harganya beragam, dari US$ 1.000 hingga US$ 6.000, atau bahkan US$ 50.000," tutur Dini di studionya yang terletak di Jakarta Pusat.
"Saya tahu itu kedengarannya konyol, tapi gaya hidup seperti ini ada di Indonesia. Sebuah tas mahal bukan sekadar benda mentereng semata buat mereka. Hal itu adalah simbol status. Kita bisa membeli sebuah mobil atau rumah di Jakarta dengan uang sebanyak itu, dan kadang saya juga tidak habis pikir kenapa mereka mau menghabiskan uang sebesar itu. Tapi hal itu bagus untuk bisnis saya!"
Kelompok orang kaya baru di Indonesia tampaknya menjadi pupuk bagi banyak pelaku bisnis, termasuk produsen mobil legendaris Lamborghini.
Pabrikan mobil mewah asal Italia itu pertama kali hadir di Indonesia pada 2009. Sejak itu, negara ini menjadi pasar ketiga terbesar di Asia-Pasifik.
"Saya rasa di kota besar seperti ini, menjaga citra gaya hidup kelas atas sangat penting bagi profesional muda," kata Johnson Yaptonaga, pemilik showroom Lamborghini kepada BBC.
"Dan memiliki sebuah mobil mewah menjadi tren bagi kelompok ini. Begitu Anda berada di komunitas ini, Anda harus mengikuti gaya hidup ini."
Jurang kesejahteraan sosial
Sementara itu, banyak orang di Indonesia hidup bergerak di jalur yang berbeda. Rohma tinggal di perkampungan kumuh di dekat rel kereta, hanya beberapa kilometer dari studio tas bermerek milik Dini Indra. Tas paling murah di studio Dini cukup untuk membayar sewa rumah Rohma selama satu tahun.
Ia tinggal di sebuah rumah beratap seng dengan suami dan tujuh anaknya.
Rohma mengatakan kepada BBC, ia pernah melihat mobil-mobil dan rumah-rumah mewah yang berada hanya beberapa ratus meter saja dari tempat tinggalnya. Namun, bagi ia, semua itu seolah seperti di planet lain.
Dunia yang dikenalnya adalah bagaimana memberi makan tujuh mulut.
"Suami saya dulu jadi sopir taksi, dan sekarang dia kerja serabutan," kata Rohma sambil menggendong bayi berumur 1 bulan, cucu pertama dari anak sulungnya.
"Saya tidak melihat masa depan yang cerah buat kami, karena suami saya tidak selalu dapat kerja, sedangkan kami harus makan setiap hari. Bagi saya, sebagai seorang perempuan, saya sangat lelah karena saya punya anak banyak dan suami saya jarang dapat uang, dan saya merasa benar-benar lelah."
Hidup di pinggir rel kereta sangat suram, tapi Rohma tidak sendiri.
Dua pertiga populasi Indonesia hidup dengan biaya US$ 2 per hari, nyaris menyentuh batas garis kemiskinan.
Jumlah miliarder di Indonesia mungkin meningkat, tapi begitu juga jurang antara si kaya dan si miskin.
BBC
This entry passed through the Full-Text RSS service — if this is your content and you're reading it on someone else's site, please read the FAQ at fivefilters.org/content-only/faq.php#publishers.