Jakarta, Antibiotik hanya digunakan untuk mengatasi penyakit-penyakit yang berhubungan dengan bakteri, seperti tifus dan tuberkulosis. Sayangnya, banyak pasien dan dokter yang menganggapnya sebagai 'obat dewa' penyembuh segala macam penyakit, termasuk yang bukan disebabkan oleh bakteri.
"Antibiotik bukan obat dewa," tegas dr Purnamawati S Pujianto, SpAK, MMPed, penasehat Yayasan Orang Tua Peduli (YOP), dalam acara Diskusi Media 'Bakteri: Kawan atau Lawan?' di Restoran Gemoelai, Jl Panglima Polim V no 60, Jakarta, Kamis (6/3/2014).
Menurut dr Wati, panggilan akrabnya, antibiotik seharusnya hanya diresepkan bila suatu penyakit benar-benar terbukti disebabkan oleh bakteri. Tetapi karena anggapan antibiotik sebagai 'obat dewa', banyak orang yang menggunakan untuk berbagai penyakit harian yang disebabkan oleh virus, seperti batuk pilek, salesma (common cold), dan diare akut (acute watery diarrhea).
Penggunaan antibiotik yang tidak tepat dan aman akhirnya menyebabkan bakteri bermutasi dan menjadi resisten atau kebal, sehingga tidak lagi mampu dilawan dengan antibiotik.
"Bakteri jangan diperangi, bakteri itu sahabat kita semua. Bahkan jumlah bakteri di tubuh kita 10 kali lipat lebih banyak dibanding sel-sel tubuh. Dan sejatinya, antibiotik itu jarang diperlukan," jelas dr Wati.
Di Indonesia, hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 yang dilakukan Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa 86,1 persen rumah tangga di Indonesia menyimpan antibiotik di rumah tanpa resep dokter. Padahal antibiotik seharusnya digunakan dengan hati-hati, tidak digunakan tanpa indikasi yang tepat, serta dibeli dengan resep dokter.
Beberapa studi menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik cenderung berlebihan dan umumnya justru diberikan pada penyakit atau kondisi yang sebenarnya tidak memerlukan antibiotik. Studi yang dilakukan YOP tahun 2010 menunjukkan bahwa untuk anak-anak penderita infeksi virus (yang bisa sembuh dengan sendirinya tanpa obat-obatan), seperti demam diberikan antibiotik (86,4 persen), demikian juga dengan diare (74,1 persen). Tentu saja praktik peresepan obat seperti ini berpotensi membahayakan kesehatan anak-anak tersebut.
"Salesma, batuk pilek, demam, diare tanpa darah, jangan diberi antibiotik. Penyakit-penyakit harian ini 80 persen penyebabnya adalah virus," ujar Vida Parady, koordinator Program SUA YOP.
Vida menyarankan agar Anda menjadi konsumen kesehatan yang bijak dengan tidak membeli antibiotik tanpa resep di warung atau apotek, menghabiskan antibiotik yang telah diresepkan dokter, tidak menyimpan dan menyisakan antibiotik yang kemudian digunakan lagi saat sakit, serta tidak memberikan antibiotik ke orang lain.
(mer/vit)