Jakarta, Dunia seakan runtuh bagi
Laksmi Notokusumo (66), saat dokter mengatakan payudaranya harus dipotong karena sudah digerogoti kanker. Namun saat menjalani kemoterapi, penari senior yang juga sutradara teater ini justru bangkit dan tetap berkarya.
"Awalnya saya dapat dokter yang straight banget. 'Buk, Anda kena kanker silakan mendaftar susu Anda dipotong'. Bayangkan bagaimana rasanya," tutur Laksmi dalam jumpa pers Art for Cancer di Museum Seni Rupa dan Keramik Jakarta Barat, Seperti ditulis pada Jumat (14/3/2014).
Diagnosis yang tidak terduga tersebut dirasakan sangat membuat mental Laksmi drop. Perempuan yang mengaku sebagai perkok berat di semasa mudanya itu mengatakan, ia sempat menarik diri diri, kabur dari pengobatan yang ditawarkan dokter.
Kekuatan untuk berdamai dengan penyakitnya baru ia dapatkan setelah bertemu dengan Dr Aru Sudoyo, SpPD-KHOM, konsultan onkologi yang kini menjadi penasihat Yayasan Kanker Indonesia (YKI) DKI Jakarta. Menurut Laksmi, pendekatan yang dilakukan dr Aru membuatnya jauh lebih 'cair'.
Efek samping kemoterapi tetap dirasakannya, muntah-muntah tetap terjadi ketika ia latihan menari. Namun karena sudah lebih tegar menghadapi kanker, ia pun bisa menganggap bahwa muntah-muntah adalah fase yang memang harus dilaluinya. "Saya tidur pun tetap akan muntah-muntah," kata Laksmi.
Diizinkan dokter untuk tetap berkarya membuat Laksmi semakin punya semangat hidup, dan semangat untuk menjalani pengobatan kankernya. Selama menjalani 6 kali kemoterapi, Laksmi tetap tampil menari di panggung. Ia mengaku masih sanggup on stage saat pentas, tidak keluar panggung sekitar 1 jam, semasa dalam pengaruh kemoterapi.
"Saya kan juga senang nyetir, saya tanya dr Aru apakah boleh nyetir sendiri? Katanya, mau balapan juga boleh. Yang penting sehari setelah kemoterapi benar-benar istirahat," kenang Laksmi yang menjadi pasien dr Aru sejak 2007.
Hadir pula dalam jumpa pers tersebut, dr Aru mengatakan bahwa pasien kanker tidak hanya membutuhkan pengobatan. Ada faktor lain yang dibutuhkan untuk mengurangi penderitaan, yang di kedokteran dikenal dengan istilah perawatan paliatif.
"Selama ini perawatan paliatif dianggap hanya untuk pasien kanker stadium akhir atau terminal. Ini yang mau diubah, perawatan paliatif seharusnya juga diberikan sejak tahap awal. Sejak diagnosis, pasien kanker sudah menderita lahir batin," tutur dr Aru.
(up/vit)