PEMERINTAH beranggapan sertifikasi untuk jenis obat dan vaksin tetap diperlukan karena masyarakat harus mengetahui status kehalalan obat tersebut.
Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali (SDA) mengatakan, kendati sertifikasi obat dan vaksin diperlukan, sifatnya fleksibel. Artinya, meskipun jenis obat tidak halal, tapi jika tidak ada obat lain sebagai gantinya, obat tersebut tetap dapat diminum. Yang terpenting masyarakat mengetahui status obat tersebut.
"Yang terpenting konsumen mendapatkan informasi halal atau tidak, jika sudah, merekalah yang memiliki kebebasan memilih," ujar SDA saat ditemui di Jakarta kemarin.
SDA mengatakan, masyarakat jangan sampai memakai suatu produk yang tidak jelas sertifikasinya, meskipun tidak mengetahui pembuatan dan bahan dasar dari produk tersebut. Sosialisasi menjadi hal utama untuk memberikan informasi mengenai produk yang meliputi makanan, minuman, obat-obatan, kosmetik, dan barang-barang yang digunakan sehari-hari.
"Tetap harus disertifikasi, tetapi sertifikasi dalam hal ini menunjukkan kearifan pemerintah. Yang terpenting konsumen mendapatkan informasinya," papar dia.
Saat ini pemerintah, DPR, dan MUI masih membahas RUU Jaminan Produk Halal. Dalam pembahasan, ada beberapa hal yang belum mencapai kesepakatan seperti kewajiban atau anjuran dalam mendaftarkan suatu produk.
"Pemerintah meminta untuk dianjurkan saja karena jika diwajibkan akan berdampak secara hukum apabila tidak didaftarkan," katanya.
Selain itu, penerbitan sertifikasi halal obat dan vaksin masih menjadi pro-kontra. Sementara itu, Menteri Kesehatan (Menkes) Nafsiah Mboi meminta MUI bersikap proporsional dan fleksibel atas wacana sertifikasi halal terhadap produk farmasi. Bahkan, pihaknya tidak menolak pemberlakuan sertifikasi halal tersebut. Namun, hal itu dilakukan lebih untuk kemaslahatan umat.
"Kami bukan menolak, tetapi kami minta MUI melihat permasalahan secara proporsional karena ini menyangkut kedaruratan, hidup dan mati," ujar dia.
Nafsiah mengatakan, pemerintah sudah berkonsultasi dengan para ahli agama dan Kementerian Agama. Islam sangat fleksibel termasuk dalam mempersilakan umatnya mengonsumsi sesuatu yang mengandung zat haram sebagai penyembuh atau obat atas penyakit yang dideritanya. Dalam hal ini, jika sudah menyangkut pada hidup dan mati pasien, apa yang tidak halal pun menjadi boleh.
(tty)
This entry passed through the Full-Text RSS service — if this is your content and you're reading it on someone else's site, please read the FAQ at fivefilters.org/content-only/faq.php#publishers. Five Filters recommends: