Jakarta, Komitmen para calon pemimpin soal penanganan Napza (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya) dinilai masih kurang. Banyak korban Napza yang tidak mendapat akses rehabilitasi dan justru dikriminalkan dengan masuk bui.
"Napza, terorisme, dan korupsi itu termasuk extraordinary crime. Tapi lihat saja capres-capres lebih banyak teriak soal korupsi, soal Napza belum tersentuh sama sekali," kata Sally, Humas PKNI (Persaudaraan Korban Napza Indonesia), Minggu (22/6/2014).
Ditemui dalam kampanye kreatif 'Dukung, Jangan Menghukum!' di arena Car Free Day, Jl MH Thamrin, Jakarta Pusat, Sally mengungkap masih kuatnya stigma negatif terhadap korban Napza. Bukan dibantu untuk lepas ketergantungan, tetapi justru mendapat hukuman berat dari lingkungan.
Memasukkan pecandu napza ke dalam penjara, menurut Sally tidak akan menyelesaikan persoalan. Pecandu butuh rehabilitasi untuk lepas dari ketergantungan, sedangkan di penjara fasilitas tersebut tidak tersedia. Justru, di dalam penjara pemakaian napza lebih susah dikontrol.
"Di luar, minimal masih bisa diarahkan untuk pakai jarum yang steril. Di penjara siapa yang jamin itu steril," lanjut Sally. Penggunaan jarum suntik secara bergantian membuat para pecandu Napza rentan berbagai infeksi, mulai dari HIV (Human Imunodeficiency Virus) hingga Hepatitis C.
Begitu juga dengan korban Napza dari kalangan remaja. Menurut Sally, masih banyak remaja yang serta-merta dikeluarkan dari sekolah begitu ketahuan memakai napza. Bagaimana nasib mereka setelah dikeluarkan, termasuk risiko untuk semakin terjerumus, seolah tidak ada yang memikirkan.
"Ada 4 juta korban napza di Indonesia, 1 juta di antaranya remaja. Dari angka tersebut, saya kira tidak sampa1 10 persen yang bisa mengakses layanan rehabilitasi," keluh Sally.
Jadi bagaimana ini, wahai para Capres?
(up/ajg)