Jakarta, Data surveilans Unit Koordinasi Kerja (UKK) tumbuh kembang-pediatri sosial IDAI di tujuh RS pendidikan di Indonesia menunjukkan bahwa gangguan bicara dan berbahasa adalah salah satu gangguan yang dominan terjadi di Indonesia. Besarnya insidens gangguan bicara dan berbahasa di tujuh kota besar itu berkisar 8,3 sampai 21 persen.
Oleh karena itu ketua UKK tumbuh kembang-pediatri sosial IDAI, Dr.dr. Eddy Fadlyana, MKes, SpA(K), menekankan perlu adanya persiapan dini bagi perkembangan otak anak. "Bahkan penelitian kita beberapa tahun lalu di Jawa Barat menemukan 20 sampai 30 persen anak mengalami gangguan perkembangan. Memang saat ini angka kematian bayi lebih rendah tapi risiko gangguan perkembangannya pun makin tinggi," kata dr Eddy.
Selain gangguan bicara dan berbahasa berupa telat bicara, kasus gangguan perkembangan lain yang banyak ditemukan di tujuh RS pendidikan itu adalah motoric delay, cerebral palsy, down syndrome, dan global development delay (gangguan di seluruh aspek perkembangan).
Keterangan itu disampakan dr Eddy dalam Media Edukasi 'Kemampuan Bicara-Bahasa, Awal Kecerdasan dan Perilaku Anak' hasil kerja sama UKK Tumbuh Kembang Pediatri Sosial IDAI dan Kalbe-Morinaga di Hotel Gran Melia, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (13/12/2013).
"Aspek perkembangan anak ada empat yaitu personal sosial yakni kemampuan dia berhubungan dengan orang lain, motorik kasar, motorik halus, dan bicara serta berbahasa. Nah gangguan ini bisa disebabkan saat periode perinatal dan neonatal," kata dr Eddy.
Oleh karena itu, dokter berkacamata ini mengingatkan para wanita hamil untuk melakukan tes TORCH (toksoplasma, rubela, cytomegalovirus dan virus herpes simplex) dan setelah anak lahir lakukan deteksi dini dengan memonitor empat aspek perkembangan anak. Sebab, semua anak berisiko mengalami gangguan perkembangan.
"Diagnosa gangguan perkembangan bisa dilakukan oleh dokter spesialis anak konsultan yang jumlahnya baru sekitar 60 di Indonesia. Padahal, setiap tahun ada lebih dari tiga juta anak yang lahir di sini. Maka, pre-skrining bisa juga dilakukan orang tua," tutur dr Eddy.
Caranya, dengan melihat milestone perkembangan dalam buku Kesehatan Ibu dan Anak. Selain itu, dua tahun pertama usia anak disarankan untuk rutin memeriksakan si kecil ke petugas kesehatan tiap tiga bulan sekali. Sehingga, anak yang berisiko bisa segera diketahui dan mendapat penanganan dini.
Sementara itu, ketua divisi tumbuh kembang RSUD Dr.Soetmomo/FK Unair Surabaya, Dr.dr.Ahmad Suryawan SpA(K) mengatakan anak lebih berisiko mengalami gangguan perkembangan antara lain jika ibunya saat hamil terinfeksi TORCH, mengalami pre-eklampsia, persalinan risiko tinggi.
"Selain itu malnutrisi, riwayat keluarga, dan pola asuh yang tidak melekat. Nah pola asuh tidak melekat ini yang banyak jadi penyebab kasus-kasus yang saya tangani. Namun, perlu diingat kalau semua anak itu berisiko," kata pria yang akrab disapa dr Wawan ini.
(vit/vta)
This entry passed through the Full-Text RSS service — if this is your content and you're reading it on someone else's site, please read the FAQ at fivefilters.org/content-only/faq.php#publishers.