TEMPO.CO, Jakarta - Dapur berukuran 5 x 4 meter yang didominasi warna krem itu tampak kinclong. Debu juga seolah enggan bersentuhan dengan lantai, begitu pun berbagai perabot yang ditata rapi di sudut kiri ruangan. Sang pemilik, Ita Mashitoh, 42 tahun, memang jarang menggunakan dapur di rumah yang berada di kawasan Papandayan, Semarang, itu. "Dipakai ataupun enggak, ruangan ini mesti tetap bersih," kata Ita saat dihubungi kemarin siang.
Pegawai Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang itu memang hanya sesekali menyapa dapur kering yang terletak di lantai dua rumahnya tersebut. Selain karena kesibukan, Ita mempercayakan urusan masak-memasak kepada pembantunya yang lebih sering meracik makanan di dapur basah, di bagian belakang lantai bawah. Padahal, semula dapur kering dibikin agar Ita bisa memasak dengan nyaman.
Walhasil, dapur kering rumah ibu tiga anak itu lebih sering menganggur. Begitu pula jika digunakan, paling hanya untuk menyiapkan masakan yang sebelumnya dimasak di dapur basah, dan meletakkan lemari es serta perabotan pecah-belah. "Masaknya di dapur lantai bawah, tapi preparation sebelum masakan ditaruh di meja makan, biasanya di dapur atas (dapur kering)," ujarnya.
Desainer interior Iqro Firdausy menjelaskan, dapur kering yang juga dikenal dengan sebutan dapur bersih ataupun pantry, pada dasarnya, dibikin karena alasan estetika. Karena itu, dapur kering biasanya tak memiliki banyak mebel, dan lebih difungsikan untuk memasak bahan makanan siap saji ataupun menghangatkan masakan. "Kalaupun ada kompor, yang digunakan bukan kompor gas yang terkesan ribet, tapi kompor listrik," kata dia, Rabu sore lalu.
Pemilihan material dapur kering juga khusus. Keramik yang digunakan untuk dinding ataupun lantai, misalnya, dipilih yang mudah dibersihkan dan menimbulkan kesan terang. Sedangkan perkakas yang diletakkan di dapur kering tak banyak, seperti pengisap asap, wastafel atau tempat mencuci piring, lemari es, oven, dan microwave.
Alasan estetika itu pulalah yang membuat orang biasanya tak mengandalkan dapur kering sebagai tempat utama memasak. Dapur basah, Iqro menjelaskan, bagaimanapun lebih dipilih untuk memasak karena si koki tak perlu mencemaskan apakah ruang dapur bakal berlepotan minyak, atau tampak kacau karena menyimpan berbagai alat masak, seperti wajan dan panci.
Itulah sebabnya, kebanyakan pemilik rumah menempatkan dapur kering di bagian depan yang bisa terlihat oleh tamu, sedangkan dapur basah biasanya terletak di belakang. "Kalau dulu dapur itu filosofinya mesti ditempatkan di bagian belakang, oleh masyarakat urban, dapur 'ditarik' ke bagian depan karena memasak kini jadi aktivitas yang menyenangkan dan mengakrabkan anggota keluarga," ujar Iqro.
Namun, sayangnya, seperti diamati Iqro, kecenderungan yang muncul dapur kering jarang dioptimalkan fungsinya. Jangankan untuk memasak bahan makanan instan, atau menghangatkan masakan, dapur kering juga jarang dipakai untuk menyiapkan makanan sebelum dihidangkan. Selain faktor kesibukan si empunya rumah, kebanyakan koki pada akhirnya lebih memilih langsung menggotong masakan dari dapur basah ke meja makan.
Hal yang sama terjadi pada minibar, yang merupakan pelengkap dapur bersih. Iqro mengamati, sebagian minibar jarang digunakan sesuai dengan fungsi asalnya, yakni area minum sembari bersantai. Di rumah sebagian besar masyarakat urban, minibar cenderung seperti 'pit stop'. "Minibar seringnya jadi tempat makan si pemilik rumah kalau ia sedang buru-buru. Lima menit dipakai untuk tempat makan, setelah itu nganggur," katanya.
Iqro menyarankan agar ruangan yang diplot sebagai minibar maupun dapur kering tak perlu buru-buru dialihfungsikan untuk ruangan lain. Keberadaan dapur kering dan minibar dinilai tak jadi masalah. Alih-alih untuk memasak atau menghangatkan makanan, dapur kering bisa dimanfaatkan untuk menyimpan perabot dapur, seperti piring, gelas, garpu, dan sendok. Tentunya, perabotan yang dipakai mesti pilihan dan berkualitas baik agar dapur kering bisa tetap 'dipamerkan' kepada tamu.
Namun meniadakan dapur kering juga bisa menjadi pilihan, terutama untuk rumah yang tidak terlalu luas. Sebagai gantinya, pemilik rumah bisa mengoptimalkan fungsi ruang makan dan merapikan dapur kotor. Apalagi, pada dasarnya, kata Iqro, masyarakat Indonesia memang tidak terlalu membutuhkan dapur kering.
"Dapur kering itu kan bagian budaya Barat, yang fungsinya pelengkap dapur kotor, dan tempat bercengkerama pemilik rumah dengan tamu. Tapi seringnya kegiatan memasak orang Indonesia dilakukan di dapur kotor, karena 'alat tempur' masaknya kebanyakan di situ," ujarnya.
ISMA SAVITRI
Topik Terhangat
Mobil Murah
Kontroversi Ruhut Sitompul
Mun'im Idris Meninggal
Info Haji
Tabrakan Maut
This entry passed through the Full-Text RSS service — if this is your content and you're reading it on someone else's site, please read the FAQ at fivefilters.org/content-only/faq.php#publishers. Five Filters recommends: