Peneliti menemukan mekanisme biologis yang dapat menjelaskan bagaimana polusi menempatkan orang pada risiko tinggi autisme dan skizofrenia
Liputan6.com, Jakarta Satu lagi bukti adanya hubungan antara paparan polusi dan autisme serta skizofrenia. Setelah penelitian yang pernah dipublikasikan dalam JAMA Psychiatry menemukan bahwa anak-anak yang tinggal di daerah berpolusi tinggi didiagnosis dengan gangguan perkembangan saraf dan mengarah autisme. Sekarang, peneliti dari University of Rochester menemukan mekanisme biologis yang dapat menjelaskan bagaimana polusi menempatkan orang pada risiko tinggi autisme dan skizofrenia.
"Dari sudut pandang toksikologi, sebagian besar fokus penelitian adalah polusi udara pada sistem cardiopulmonary--jantung dan paru-paru. Jadi saya pikir polusi dapat menambah risiko gangguan perkembangan saraf seperti autisme," kata penulis studi yang juga profesor kedokteran lingkungan di University of Rochester, Deborah Cory-Slechta.
Penelitian yang diterbitkan dalam Environmental Heath Perspectives mencatat, tikus yang terkena paparan polusi mengalami kritis perkembangan otak. Dalam empat jam selama empat-hari, tikus yang sering terkena polusi mengalami perubahan perilaku. Hal ini jauh bila dibandingkan dengan tikus yang hidup di lingkungan bersih.
"Kami melihat perubahan dalam tingkat aktivitas dan memori pada laki-laki dan perempuan. Dan kami melihat perbedaan perilaku antara dua kelompok tikus bahkan 10 bulan setelah mereka bebas dari polusi," kata Cory.
Tim juga meneliti otak tikus yang terkena polusi. Mereka menemukan adanya peradangan dan pembesaran ventrikel di kedua sisi otak yang berisi cairan serebrospinal. Pada manusia, ventrikel membesar merupakan gejala dari kondisi otak yang disebut ventriculomegaly atau gangguan perkembangan saraf. Selanjutnya, ventriculomegaly sering dikaitkan dengan kerusakan corpus callosum, saluran yang menghubungkan dua sisi otak.
"Corpus callosum penting dalam mengatur perilaku sosial dan perilaku emosional. Dan autisme dianggap sebagai bagian dari konektivitas yang hilang. Begitupun dengan skizofrenia," jelasnya.
Selain itu, peneliti mencatat, perubahan otak lebih rentan mengenai laki-laki dibandingkan wanita.
(Gabriel Abdi Susanto)