Sydney, Post Traumatic Syndrom Disorder (PTSD) atau gangguan kecemasan pasca trauma sering kali dialami oleh mereka yang pernah mengalami pengalaman buruk dalam hidup. Pengalaman tersebut bisa bermacam-macam, misalnya perceraian orang tua, bencana alam, kecelakaan hingga perang.
Tentara sebagai ujung tombak ketika berperang pun tak lepas dari ancaman PTSD. Mayor Jendral John Cantwell dari Australian Defence Force mengatakan bahwa hal itu dapat terjadi pada tentara di manapun lokasi berperangnya.
"Kurang lebih 8 persen dari personel kita yang pernah berperang di Afghanistan mengalami PTSD ketika kembali ke rumah," papar Cantwell seperti dikutip dari ABC Australia, Jumat (25/4/2014).
Sayangnya, angka tersebut masih jauh dari jumlah yang sebenarnya ada. Cantwell mengungkapkan bahwa stigma negatif terhadap korban PTSD yang masih kental menjadi hambatan bagi mereka untuk mendapatkan bantuan.
"Dengan berkurangnya partisipasi kita dalam pertempuran langsung di sana, akan makin banyak prajurit yang pulang ke rumah. Yang harus diingat bahwa tidak apa-apa jika mereka mengalami PTSD. Itu bukan hal yang memalukan," sambung Cantwell lagi.
Kecemasan akan dicap sebagai orang gila atau bahkan dikeluarkan dari kesatuan menjadi alasan sebagian besar prajurit enggan mengakui bahwa dirinya mengalami PTSD. Cantwell mengatakan bahwa seharusnya prajurit mampu menghitung dengan risiko-risikonya sebelum mengambil keputusan menyembunyikan keadaan mereka.
Menurutnya, tidak ada masalah jika memang harus ada pengaturan ulang tentang kepangkatan bagi para prajurit dengan PTSD. Hal itu lebih baik daripada dihantui perasaan bersalah, ketakutan dan kesedihan yang dapat mengendap selama bertahun-tahun dan mempengaruhi hubungan dengan keluarga dan orang yang disayangi lainnya.
"Aku sering kali mendengar cerita sedih dari para keluarga prajurit dengan PTSD. Kebanyakan dari mereka menyembunyikan keadaanya dan akhirnya mati bunuh diri bertahun-tahun setelahnya," pungkas pensiunan jenderal yang juga pernah bertugas di Afghanistan tersebut.
(vit/vit)