TEMPO.CO, Jakarta -Penggunaan antibiotik yang tidak tepat dan aman, menyebabkan bakteri bermutasi dan menjadi resisten (kebal) sehingga tak lagi mampu dilawan dengan antibiotik. Masyarakat harus diberi kesadaran pentingnya penggunaan antibiotik yang tepat. Ajakan ini untuk mempertahankan efikasi antibiotik.
Hal ini diungkapkan dr Purnamawati S. Sujiarto sebagai penasehat Yayasan Orang Tua Peduli (YOP), dan Communication Adviser ReAct (Action on Antibiotic Resistance), organisasi nirlaba berpusat di Swedia, Satya Sivaraman dalam Diskusi Bijak Antibiotik yang digelar belum lama ini di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Fokus topik ini pada penggunaan antibiotik untuk berbagai penyakit harian yang disebabkan oleh virus, khususnya selesma (common cold) dan diare akut (acute watery diarrhea).
Menurut World Health Organization (WHO), ancaman punahnya antibiotik yang tak mampu melawan bakteri resisten sejak 1998, menjadi permasalahan global dengan dampak signifikan terhadap kualitas kesehatan masyarakat.
Di Indonesia, hasil riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 dilakukan Kementrian Kesehatan menunjukkan 86,1 persen rumah tangga di Indonesia, menyimpan antibiotik di rumah tanpa resep dokter. Padahal antibiotik seharusnya digunakan dengan hati-hati, tidak digunakan tanpa indikasi tepat serta dibeli dengan resep dokter.
Menurut dr Purnamawati, penggunaan obat tidak aman merupakan permasalahan kesehatan serius di seluruh dunia, termasuk di Indonesia."Karena dapat membahayakan kesehatan," katanya.
Beberapa studi menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik berlebihan dan umumnya justru diberikan pada penyakit dan kondisi sebenarnya, tidak memerlukan antibiotik. Studi dilakukan YOP pada 2010 menunjukkan, anak-anak penderita infeksi virus (yang bisa sembuh dengan sendirinya tanpa obat-obatan) seperti demam, diberikan antibiotik 86,4%, diare 74,1%."Praktek peresepan obat seperti ini berpotensi membahayakan kesehatan anak-anak tersebut," kata dia.
Studi WHO pada 2005 menemukan, 50 persen resep di Puskesmas dan rumah sakit di Indonesia mengandung antibiotik. Sedangkan survei nasional tahun 2009 menemukan antibiotik diresepkan untuk penyakit-penyakit yang disebabkan virus diare akut dan selesma (flu).(Baca : Obat Pereda Sakit Hambat Bakteri Tiru DNA)
"Antibiotik tidak membunuh kuman. Kuman jadi resisten," katanya. Bentuk penggunaan antibiotik tidak bijak cukup beragam. Mulai dari ketidaktepatan dalam pemilihan jenis antibiotik, cara dan lama pemberiannya.
Kebiasaan memberikan antibiotik dengan dosis tidak tepat, frekuensi pemberian keliru, waktu pemberian terlalu singkat atau terlalu lama, selain mengurangi efikasinta sebagai pembunuh mikroba juga menimbulkan masalah resistensi yang dapat menyebabkan pasien menderita sakit lebih berat, lebih lama, terpapar resiko toksisitas, resiko kematian dan pengobatan lebih mahal.
Untuk menjadi konsumen kesehatan bijak, pasien dianjurkan untuk menanyakan tiga hal ketika berkonsultasi ke dokter yakni, diagnosis penyakit, tatalaksana penyakit dan kapan harus cemas.
Jika diberi obat, pasien disarankan bertanya kepada dokter, apakah benar-benar butuh obat, berapa jumlah obatnya, apa kandungan aktifnya, bagaimana cara kerjanya, apa resiko efek sampingnya, kontraindikasi dan cara pakainya. "Disarankan juga untuk meminta obat generik, kata Purnamawati.
EVIETA FADJAR
Berita Terpopuler
Empat Hal yang Bikin Komunikasi Terhambat
Tidur Tak Teratur Picu Kerusakan Otak |
'A State of Trance 650', Mantra Magis Van Buuren
Mengenal Terapi Ear Candle
This entry passed through the Full-Text RSS service — if this is your content and you're reading it on someone else's site, please read the FAQ at fivefilters.org/content-only/faq.php#publishers.