Jakarta, Sebagai salah satu petugas medis yang memberikan pengobatan, karakter dokter tentu turut mempengaruhi kesembuhan pasien. Teliti saat memilih dokter, sebab beberapa karakter dokter diklaim bisa membuat pasien, khususnya pasien obesitas, jadi tak percaya diri untuk menurunkan berat badannya.
Ya, sebuah studi terbaru mengungkapkan bahwa pasien obesitas akan sulit menurunkan berat badannya jika mereka merasa sedang dihakimi oleh dokter. Untuk sampai pada kesimpulan ini, para peneliti melakukan survei terhadap 600 responden yang obesitas di Amerika Serikat.
"Pertemuan yang sifatnya negatif dapat membuat usaha pasien untuk diet menjadi tak sukses. Idealnya dokter perlu berbicara tentang penurunan berat badan tanpa membuat pasien merasa mereka sedang dihakimi. Jika dilakukan dengan tepat, pasien akan sangat terbantu," ungkap salah seorang penulis studi yang terlibat, Dr Kimberly Gudzune, seperti dilansir News Max Health, Senin (24/2/2014).
Para peneliti menemukan bahwa 21 persen dari responden percaya dokter mereka menghakimi mereka karena masalah berat badan. Sementara itu, 96 persen dari mereka bahkan merasa dihakimi ketika mengatakan ingin mencoba untuk menurunkan berat badan. Hal ini berdampak pada keinginan mereka untuk diet dan juga tingkat kesuksesannya.
Temuan ini menunjukkan bahwa dokter perlu menghindari sikap negatif kepada pasien yang kelebihan berat badan dan obesitas. Dengan begitu pasien akan merasa lebih percaya diri saat melakukan diet dan tingkat keberhasilannya akan meningkat drastis.
Beberapa dokter mungkin perlu mempelajari bagaimana caranya berbicara dengan pasien yang kelebihan berat badan dan obesitas. Menurut Dr Gudzune, komunikasi yang tepat akan membuat pasien merasa dipahami dan didukung.
"Ini merupakan hal utama yang bisa dimulai untuk sebuah tujuan sederhana seperti penurunan 10 persen berat badan. Bukan bermaksud mengkritik, namun dengan komunikasi dokter bisa membantu pasien menjadi lebih sehat," ungkap Dr Gudzune, yang juga merupakan asisten profesor di Johns Hopkins University School of Medicine di Baltimore.
Studi ini telah dipublikasikan dalam jurnal Preventive Medicine.
(ajg/vit)