Puluhan anggota Jaringan Ham dan Keberagaman saat upacara bendera HUT RI ke 67 di Dalam Notoprajan, Yogyakarta, (17/8/2012). Dengan ini, para anggota yang terdiri dari waria, kaum lesbian, gay, bisexual, transsexual dan rohaniwan-rohaniwati, ingin menunjukkan semangat nasionalisme meskipun dianggap tidak normal. TEMPO/Suryo Wibowo
TEMPO.CO, Yogyakarta - Ketua Ikatan Waria Yogyakarta Shinta Ratri mengatakan masih banyak kebijakan pemerintah yang mendiskrimasikan waria di Indonesia. "Kebijakan seperti itu tak memberi hidup bagi waria," katanya, Sabtu, 23 November 2013.
Satu di antaranya, rumitnya proses pengurusan kartu tanda penduduk. Banyak waria, khususnya di Yogyakarta, tak memiliki kartu identitas itu. Padahal, kepemilikan kartu itu merupakan hak dasar tiap warga negara dan menjadi kunci mengakses layanan-layanan lain. "Salah satu program kami adalah memperjuangkan waria sebagai gender ketiga," katanya.
Di KTP, nama Shinta tertulis dengan nama Tri Santoso Nugroho. Sedangkan jenis kelaminnya, tertulis perempuan. "Tapi saya tetap merasa sebagai waria," kata dia. (Baca: Ini Kisah Evie, Si Waria Pengasuh Presiden Obama)
Hal yang sama juga dialami oleh Maryani. Meski di KTP dan paspornya tertulis nama Maryani dengan jenis kelamin perempuan, waria pendiri pondok pesantren khusus waria di Yogyakarta itu merasa bukan sebagai lelaki atau perempuan. "Saya waria," katanya.
Ia mengatakan, bentuk diskriminasi lain yang dialami waria adalah tak memiliki kesempatan yang sama dalam memperoleh pekerjaan. Instansi pemerintah maupun swasta tak memberikan kesempatan waria bekerja di tempatnya. "Jadi, tak heran kalau banyak waria memilih ngamen dan prostitusi," katanya.
ANANG ZAKARIA
Berita Terpopuler
Ini Bahasa di Kalangan Waria
Waria Wafat Masih Menimbulkan Debat
Ini Kisah Evie, Waria Pengasuh Presiden Obama
Asam Garam Oma Yuyun Beroperasi di Taman Lawang
Mami Yulie: Jangan Lihat Kelaminku!
Chenny Han: Terjebak pada Tubuh yang Salah