KOMPAS.com - Bayi yang lahir dengan kondisi tertentu, seperti bayi berat lahir rendah (BBLR) dengan berat lahir kurang dari 2.500 gram, bayi lahir kurang bulan atau prematur, bayi lahir dengan kelainan termasuk kelainan bawaan, bayi kembar siam, juga kembar siam parasit, disebut sebagai bayi risiko tinggi.
Bayi dengan kondisi ini perlu mendapatkan penanganan tepat sejak lahir hingga tumbuh sebagai anak bahkan hingga remaja, termasuk penanganan terkait faktor tumbuh kembangnya.
Agar tumbuh kembang optimal, bayi risiko tinggi sejak dirawat di ruang NICU/PICU perlu mendapatkan pemantauan dari dokter anak sub spesialisasi pediatri sosial.
"Perawatan bayi risiko tinggi perlu didampingi pediatri sosial. Ia dokter anak dengan spesialisasi pediatri sosial. Pendampingan perlu dilakukan hingga fase remaja agar tumbuh kembangnya optimal," ungkap dokter spesialis anak dari Divisi Perinatologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), dr Rosalina Dewi Roeslani, kepada Kompas Health di Jakarta.
Menurut Rosi (sapaan akrabnya), pemantauan tumbuh kembang anak dari kelahiran bayi risiko tinggi, sebenarnya bisa saja dilakukan dokter spesialis anak. Dengan kata lain, dokter spesialis anak juga memiliki kompetensi pediatri sosial. Namun, dokter anak sub spesialis pediatri sosial lebih fokus dalam memantau tumbuh kembang anak secara menyeluruh, apakah mengalami gangguan seperti keterlambatan atau lainnya.
"Dokter anak pediatri sosial punya alat tes yang lebih lengkap, dan mereka lebih fokus dalam mengobservasi tumbuh kembang anak. Mereka bisa fokus melakukan observasi 15 sampai 30 menit," tuturnya.
Meski peran pediatri sosial penting dalam penanganan bayi risiko tinggi, faktanya belum banyak orangtua yang menyadari hal ini. Menurut Rosi, RSCM yang menjadi rumah sakit rujukan dari berbagai daerah di Indonesia, seringkali menerima kasus bayi risiko tinggi. Namun, pada tahap rawat jalan, tidak banyak bayi risiko tinggi yang kembali ke poliklinik anak untuk melakukan pemeriksaan oleh pediatri sosial.
"Hanya 30 persen dari pasien yang kembali ke poliklinik anak untuk rawat jalan dengan pediatri sosial," ungkapnya.
Minimnya jumlah ahli pediatri sosial di daerah lain di luar Jakarta juga menjadi penyebab orangtua tidak melanjutkan rawat jalan.
Namun untuk kondisi di Jakarta, kata Rosi, rawat jalan dengan pediatri sosial lebih mudah dilakukan. Tidak hanya di rumah sakit seperti RSCM, juga bisa dilakukan di klinik tumbuh kembang yang mulai banyak muncul di Jakarta.
Secara terpisah, Prof dr Nugroho Kampono, SpOG (K), Direktur Utama Rumah Sakit Ibu dan Anak Brawijaya mengatakan klinik tumbuh kembang kini menjadi kebutuhan, meski jumlahnya masih sedikit di Jakarta.
"Klinik tumbuh kembang di Jakarta, jumlahnya kurang dari lima, dan kebanyakan kurang komprehensif atau sifatnya rujukan, bukan pemeriksaan yang melibatkan banyak ahli di satu tempat,"ungkapnya kepada Kompas Health di Jakarta.
Kebutuhan pemeriksaan di klinik tumbuh kembang, kata Prof Nugroho, sebenarnya semakin tinggi. Data klinis menyebutkan, 10-15 persen bayi yang dilahirkan di Jakarta mengalami kelainan, dan mereka membutuhkan terapi. Kelainan pada bayi ini di antaranya berupa kelainan sensori, motorik, kognitif.
Bayi BBLR, prematur, atau bayi dengan kondisi tertentu yang dirawat di NICU/PICU berisiko tinggi mengalami kelainan atau gangguan tumbuh kembang ini.
"Gangguan tumbuh kembang ada indikasinya dan diperlukan screening medis untuk mengetahuinya," terangnya.
Orangtua perlu mewaspadai berbagai indikasi ini. Kewaspadaan terhadap gangguan tumbuh kembang sebenarnya perlu ditingkatkan di tiga bulan pertama sejak bayi dilahirkan. Jika orangtua menemukan ada kelainan, sebaiknya segera lakukan pemeriksaan. Pemeriksaan biasanya dilakukan dua sampai tiga kali. Setelah ada diagnosa, tahapan berikutnya adalah terapi, yang bisa berlangsung tahunan.
This entry passed through the Full-Text RSS service — if this is your content and you're reading it on someone else's site, please read the FAQ at fivefilters.org/content-only/faq.php#publishers. Five Filters recommends: