Jakarta, Makin merebaknya kasus kekerasan seks pada anak memunculkan usul untuk 'mengebiri' pelakunya. Ada yang menilainya berbenturan dengan hak asasi manusia, namun tidak sedikit pula yang mendukung. Termasuk dari kalangan dokter.
"Medis itu sebenarnya siap. Tinggal pegiat hak asasi lebih memikirkan yang mana, pelaku atau korbannya," kata Dr Nur Rasyid, SpU(K), pakar urologi dari RS Cipto Mangunkusumo, seperti ditulis Senin (19/5/2014).
"Itu dokter umum juga bisa melakukan, tinggal suntik di pantat saja kok. Sama seperti obat biasa," tambah Dr Rasyid.
Menurut Dr Rasyid, penjara saja tidak cukup untuk pelaku kekerasan seks, bukan saja pada anak melainkan secara umum. Jika masalah pada libidonya tidak diatasi, di dalam penjara pun dirinya masih berisiko melakukan kekerasan seks pada narapidana yang lain.
Mengenai benturan dengan isu hak asasi manusia, Dr Rasyid tidak memberikan komentar lebih lanjut. Menurutnya, perdebatan mengenai hal itu tidak akan ada habisnya. Yang jelas, Dr Rasyid menilai pelaku kekerasan seks telah melanggar hak orang lain yakni para korban untuk mendapatkan rasa aman.
Usulan untuk 'mengebiri' pelaku kekerasan seks pada anak disampaikan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi dalam rapat koordinasi yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pekan lalu. Bukan dengan mengangkat organ reproduksinya, melainkan dengan penyuntikan bahan kimia.
Di beberapa negara, tindakan medis yang disebut chemical castration ini dilakukan sebagai hukuman bagi pelaku kekerasan seks pada anak. Salah satu negara yang menerapkannya adalah Korea Selatan.
Bagaimana kebiri secara kimia ini dilakukan dan apa saja efek sampingnya? Simak terus ulasannya di detikHealth.
(up/vta)